Kepemimpinan
adalah suatu bentuk dominasi yang didasari oleh kapabilitas/kemampuan pribadi,
yaitu mampu mendorong dan mengajak oranglain untuk berbuat sesuatu guna
mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan tersebut juga berdasarkan pada (1) akseptansi/penerimaan
oleh kelompok, dan (2) pemilikan keahlian khusus. Maka dalam iklim demokratis
kita berkepentingan dengan kepemimpinan demokratis, demi pencapaian
kesejahteraan dan kaedilan yang lebih merata.
Namun
kenyataan menunjukan, bahwa dalam masyarakat modern yang banyak menonjolkan
individualisme sekarang banyak terdapat orang sangat ambisius, bahkan paling
ambisius untuk muncul menjadi pemimpin demi kepentingan-kepentingan pribadi.
Orang yangiklankan diri itu ( yang dengan segala upaya licik ingin menjabat
kursi kepemimpinan ), biasanya adalah tipe orang yang sakit atau abnormal
(yang korups, patologis, egoistis, tidak bertanggung jawab, criminal, sadis,
dan lain-lain), itu jelass mencerminkan adanya masyarakat yangpas sakit. Dengan
kata lain masyarakat yang sakit akan memproduksi pemimpin-pemimpin yang sakit
atau abnormal. Dan sebaliknya, pemimpin-pemimpin yang sakit pasti akan
memunculkan masyarakat yang sakit, yang dipenuhi banyak konflik, disorganisasi
dan disfungsi sosial.
Pemimpin Demokratis
Pemimpin demokratis dapat digolongkan dalam:
- Pemimpin demokratis tulen, dan;
- Pemimpin demokratis palsu/pura-pura (pseudo-demokratis)
Pemimpin
demokratis tulen itu merupakan pembimbing yang baik bagi kelompoknya. Dia menyadari
bahwa tugasnya ialah mengkoordinasikan pekerjaan dan tugas dari semua
anggotanya dengan menekankan rasa tanggung jawab dan kerjasama yang
baik kepada setiap anggota. Dia tahu, bahwa organisasi atau lembaga bukanlah
masalah ”pribadi atau individual”, akan tetapi kekuatan organisasi
terletak pada partisipasi aktif setiap anggota. Dia mau mendengarkan
nasehat dan sugesti semua pihak dan mampu memanfaatkan keunggulan setiap orang
seefektif mungkin pada saat-saat yang tepat.
Dia
sadar, bahwa dia tidak mampu bekerja seorang diri. Karena itu dia perlu
mendapatkan bantuan dari semua pihak. Dia memerlukan dukungan dan partisipasi
dari bawahannya, perlu mendapaykan penghargaan dan dorongan dari atasan, dan
butuh mendapatkan support/dukungan moril dari teman sejawat yang sederajat
kedudukannya dengan dirinya.
Dengan
demikian, organisasi yang dipimpinnya akan terus berjalan lancar sekalipundia
tidak ada ditempat. Sebab otoritas sepenuhnya didelegasikan kebawah, sehingga
semua orang merasa pasti dan aman, juga merasa senang menunaikan
tugas-tugasnya.
Sebaliknya
pemimpin pseudo-demokratis pada umumnya mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut, dia memang berusaha untuk bersikap demokratis. Akan tetapi karena dia
berkarakter lemah, merasa selalu bmbang dan tidak mempunyai pendirian, maka
penampilannya tidak jauh berbeda dengn si ”baby autocrat” (otokrat
bayi). Bedanya ialah pemimpin pseudo demokratis ini sifatnya lebih sentimentil.
Dia sering merasa ”berdosa” dan ingin
bertobat. Dan pada saat-saat dia berhati lapang, dia menganggap semua orang
sebagai ”orang sendiri/dalam”, dengan semboyan ”kita semua adalah satu keluarga
besar yang bahagia”. Sedang pada saat-saat dia berhati buram, maka muncullah
kemunafikan dan macam-macam sifat kelicikan.
Pemimpin
yang demokratis itu bisa berrfungsi sebagai katalisator yang bisa
mempercepat proses-proses secara wajar, dan membantu pencapaian objek yang
ingin dicapai dengan cara yang paling sesuai cocok dengan kondisi kelompok
tersebut.
Pada
kepemimpinan yang otokratis, pemimpin memaksa rencananya tanpa
berkonsultasi kepada kawan-kawannya, dan tidak pernah menjelaskan isi
sepenuhnya dari rencananya. Dia mengkomandokan setiap langkah, tanpa
menghiraukan sama sekali tata kerja yang paling sesuai dengan aspirasi
kelompoknya, tidak memperhitungkan iklim emosional kelompok serta bentuk kerja
kooperatif.
Timbullah
kemudian reaksi agresifitas yang ditujukan kepada pemimpin, atau di
arahkan kepada kawan sekerja yang lemah (dalam posisi lemah). Bahkan tidak
jarang mereka juga melontarkan agresifitas terhadap benda-benda mati,
misalnya dengan jalan:
1) merusak barang-barang milik organisasi;
2) mengadakan sabotase;
3) mencuri barang-barang, pesawat-pasawat,
onderdil, dan lain-lain;
4) munculnya apati total dari bawahan
atau sanak buah;
5) orang jadi suka membolos, tidak masuk
kerja tanpa mengemukakan alasan yang wajar (absensiisme tinggi)
6) orang dengan sengaja datang terlambat
kekantor/dinas;
7) meninggalkan tugas, desersi;
8) bersikap acuh tak acuh, dan lain-lain.
Maka agresivitas yang memuncak bisa
menimbulkan pemogokan dan hira-hura. Sebaliknya, pemimpin demokratis biasanya
dihormati dan dihargai. Dia dianggap sebagai simbol kebaikan dan ”orang
sendiri”, karena ia bersedia bekerja sama dengan semua anggota kelompok.
Pemimpin demokratis ini tidak berusaha menjadi majikan. Semua anggota kelompok
selalu ingin bertemu muka dan bertukar pikiran dengan dirinya yang dianggap
sangat simpatik. Semua prestasi kerjanya selalu dinilai dengan kriteria ”hasil
kami bersama-sama”. Ringkasan bentuk-bentuk kesuksesan selalu diungkapkan dalam
bentuk kerja sama atau bentuk kekemian. Hususnya superioritas
kepemimpinan demokratis itu ialah kemempuan mengumpulkan banyak informassi dan
kebijaksanaan dari semua anggota kelompok, dan bisa memanipulasi semua dengan
efektif.
Setiap
kelompok sosial pasti memiliki pola tingkah laku yang sesuai dengan tipe
kepemimpinan yang mengaturnya, dan pasti tidak bergantung pada sifat-sifat
individual setiap anggota kelompok. Pada kepemimpinan demokratis,
ada ditanamkan disiplin oleh kelompok itu sendiri dalam suasana yang
demokratis. Sedang pada kepemimpinan yang otoraktis, disiplin pada umumnya
dipaksakan oleh atasan, atau dipaksakan secara eksternal, biasanya disertai
ancaman atau sanksi-sanksi tertentu.
Kepemimpinan
yang demokratis itu dalam situasi yang normal, keadaannya lebih superior dari pada
kepemimpinan laissez-faire dan otoriter. Sebab utamanya ialah:
- orang bisa menghimpun dan memanfaatkan semua informasi dan kearifan dari semua anggota kelompok;
- orang tidak menyandarkan diri pada kepandaian atau kemampuan pribadi pemimpin saja.
Pada kepemimpinan yang otokratis,
pertanggung jawaban sepenuhnya ada pada pemimpin. Sedang pada kepemimpinan
demokratis, pertanggung jawaban ada di tangan seluruh anggota kelompok. Dan
pada kepemimpinan laissez-faire, pertanggungjawaban didistribusikan kepada setiap
anggota sebagai individu yang terpisah-pisah (singulir), dengan semboyan
“setiap orang boleh berbuat semau sendiri”. Seterusnya, kepemimpinan yang otokratis dan
demokratis, kedua-duanya memiliki garis kepemimpinan yang jelas. Sedang pada
bentuk kepemirnpinan laissez-faire justru tidak terdapat garis kepemimpinan, sehingga
cenderung mengarah pada kebebasan total dan kekacauan.
Di
bawah kepemimpinan demokratis pasti terdapat disiplin kerja dan ketepatan kerja
yang jauh lebih tinggi daripada kedua tipe kepemimpinan lainnya. Sebab kelompok
itu sendiri yang mendominir suasana, pada tekanan sosial serta kontrol sosial yang
diberikan oleh setiap anggota kelompok kepada sesama kawan (anggota), memaksa
semua individu untuk bertingkah laku sesuai dengan norma kelompok.
Pada kepemimpinan laissez-faire, kontrol
sosial hampir-hampir tidak ada. Sebaliknya pada kepemimpinan otokratis, hanya pemimpinlah yang berhak
melaksanakan kekuasaan serta mendesakkan kontrol sosial. Maka semua tugas, baik
yang sipil maupun militer yang betapapun berat dan berbahayanya, apabila
dilaksanakan dengan semangat kooperatif dan memaksimalisasikan semua inisiatif
serta inventivitas setiap orang di bawah kepemimpinan yang demokratis pastilah
menumbuhkan semangat juang dan daya tempur yang tinggi menuju kepada kemenangan
dan sukses. Pemimpin yang demokratis itu tidak menganggap diri sendiri sebagai
superman dengan kemampuan-kemampuan superior, akan tetapi menganggap diri
sendiri sebagai anggota biasa. Dia tidak pernah memberikan perintah tanpa
menjelaskan pentingnya masalah, dan selalu menerangkan secara terinci semua
detail pelaksanaannya. Juga mendiskusikan semua masalah dengan kelompoknya. Ia
memperlakukan orang-orang yang dibawahinya sebagai co-workers atau sesama kawan
kerja, dan tidak pernah menganggap mereka sebagai instrumen.
lnformasi
mengenai kemajuan onganisasi atau lembaga selalu diberikan, lalu dia
menjelaskan rencana dan kemungkinan bagi perkembangan masa mendatang. Sehingga
semua anggota mengetahui apa yang harus diperbuat setiap hari, dan untuk apa
mereka melakukan semuanya. Dia bisa mendelegasikan otoritas, sehingga tidak ada
seorang pun yang “onmisbaar” sifatnya (tidak boleh tidak ada). Dia juga
bisa menciptakan iklim psikis yang memberikan sekunitas emosional, sehingga
setiap orang dirangsang untuk bertingkah laku posirif dan jujur.
Dalam
kepemimpinan demokratis ada penekanan pada disiplin-diri, dari kelompok untuk
kelompok. Maka delegasi otoritas dalam iklim demokratis itu bukan berarti hilangnya
kekuasaan pemimpin, tetapi justru memperkuat Otoritas pemimpin yang didukung
oleh semua anggota. Dan pemimpin bisa mengkristalisasikan pikiran serta
aspirasi dari semua anggota kelompok dalam perbuatan nyata. Semua permasalahan
dihadapi dan dipecahkan secara bersama-sama. Ia juga mengutamakan kerja
kooperatif untuk tujuan:
1) pemupukan gairah kerja,
2) peningkatan produktivitas,
3) peningkatan moral,
4) usaha perbaikan kondisi sosial pada umumnya
Dengan
demikian bisa dipahami, bahwa kepemimpinan demokratis itu pada umurnnya adalah
lebih superior daripada kepemimpinan otokratis dan laissez-faire.
Kepemimpinan Demokratis
Macam
kepemimpinan yang baik dan yang sesuai dewasa ini ialah kepemimpinan
demokratis. Semua guru di sekolah bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Semua
putusan diambil melalui musyawarah dan mufakat serta harus ditaati. Pemimpin
menghormati dan menghargai pendapat tiap-tiap guru dan memberi kesempatan
kepada guru-guru untuk mengembangkan inisiatif dan daya kreatifnya. Pemimpin
mendorong guru-guru dalam hal mengembangkan keterampilannya bertalian dengan
usaha-usaha mereka untuk mencoba suatu metode yang baru, misalnya metode yang
akan mendatangkan manfaat bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran di
sekolah.
Pemimpin
demokratis tidak melaksanakan tugasnya sendiri, is bersifat bijaksana di dalam
pembagian pekerjaan dan fanggung jawab. Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab
terletak pada pundak dewan guru seluruhnya, termasuk pemimpin sekolah. bersifat ramah-tamah dan selalu bersedia
menolong bawahannya dengan memberi nasihat, anjuran, serla petunjuk jika
dibutuhkan. Ia menginginkan supaya guru-gurunya maju dan berusaha mencapai
kesuksesan dalam usaha mereka masing-masing. Di dalam kepemimpinannya, ia
berusaha supaya bawahannya kelak dapat menjalankan tugasnya sebagai peminipin.
Banyak
perhatiannya yang dicurahkan untuk tugas pendidikan dan pengajaran. Acara rapat
dewan guru ditetapkan bersama guru dan rapat tersebut dilaksanakan secara teratur
serta tidak memakan waktu banyak. Ia dapat membagi waktu untuk rapat dengan
efisien dan kedisiplinan tampak sekali di dalamnya. Kepala sekolah lebih mengutamakan
kepentingan guru dari pada kepentingan sendiri.
Di
bawah kepemimpinannya guru-guru bekerja dengan suka cita untuk memajukan
pendidikan di sekolah. Semua pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan rencana yang
telah dipikirkan dan disepakati bersama. Akhirnya, terciptalah suasana
kekeluargaan yang sehat dan menyenangkan. Pemimpin sekolah dianggap sebagai
seorang bapak, saudara, atau kakak yang dapat menempatkan diri sesuai dengan
kondisi dan keadaan Iingkungannya.
Model-model Kepemimpinan
a. Model Kepemimpinan Transaksional;
1. Pengertian
Pemimpin
Transaksional (Transactional Leaders) adalah pemimpin yang memandu atau
memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas
peran dan tuntunan tugas.
2. Dalam kepemimpinan transaksional, pemimpin
menentukan apa yang perlu dikerjakan bawahan untuk rnencapai tujuan, mengklasifikasikan
keperluan tersebut dan membantu bawahan menjadi percaya diri bahwa mereka dapat
mencapai tujuan itu.
3. Karakteristik pemimpin transaksional:
a. Imbalan tergantung;
Mengontrakkan
pertukaran imbalan untuk upaya, menjanjikan imbalan untuk kinerja yang baik,
mengakui prestasi.
b. Manajemen dengan pengecualian (aktif);
Manajemen
berdasarkan prinsip pengecualian ( management by exception / MBE), dimana
menjaga dan mencari penyimpangan dan aturan dan standar (penyimpangan sisdur),
dan mengambil tindakan koreksi.
c. Manajemen dengan pengecualian (pasif); Hanya
ikut campur jika standar tidak dipenuhi.
d. Laissez Faire; Melepaskan
tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.
b. Model Kepemimpinan Transformasional
1. Pengertian:
Pemimpin
Tranformasional (Transformational Leaders) adalah pemimpin yang memberikan
pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan pada para bawahan
atau pengikut.
2. Dalam kepemimpinan Transformasional:
a.
Pemimpin yang mengilhami para pengikut untuk lebih mementingkan kepentingan diri
mereka sendiri demi kebaikan organisasi, dan yang mampu memberikan efek yang
mencolok dan luar biasa pada diri pengikutnya.
b.
Pemimpin yang lewat visi dan energi pribadi, memberi inspirasi para pengikutnya
dan mempunyai dampak besar pada organisasi.
3. Karakteristik Pernimpin Tranformasional:
a. Karisma; Memberikan
visi dan misi, menanamkan kebanggaan, memperoleh respek dan kepercayaan.
b. Inspirasi; Mengkomunikasikan
harapan yang tinggi, rnenggunakan lambang-lambang untuk memfokuskan upaya,
mengungkapkan maksud-maksud penting dalam cara yang sederhana.
c.
Ransangan Intelektual; Menggalakkan kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan
masalah yang teliti.
d. Pertimbangan yang diindividualkan; Memberikan
perhatian pribadi, mempelakukan tiap karyawan secara individual, melatih, menasehati.
4. Dalam penelitian rnenunjukkan bukti yang
mendukung keunggulan kepemimpinan transformasional terhadap varietas
kepemimpinan transaksional luar biasa mengesankan. Secara keseluruhan
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, maka
kepemimpinan transformasional lebih erat dengan tingkat keluarnya karyawan yang
rendah, produktivitas yang tinggi, dan kepuasan karyawan yang lebih besar.
Sumber : http://rasyidalmurtadlo.blogspot.co.id/2012/07/kepemimpinan-demokratis.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar