Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Abdulah Dahlan
UU No.1/2015 Masih Rawan Politik Uang dan Praktek Korupsi dalam Pilkada
Penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah (Pemilukada) selama ini dinilai sangat melenceng dan mengotori proses
demokrasi. Mulai dari politik uang yang dilakukan oleh para calon, tim sukses
bayangan sampai masyarakat itu sendiri. Selain itu, penyalahgunaan fasilitas
dari dana bansos yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat di daerah
tersebut malah tidak sedikit yang dipergunakan untuk dana kampanye. Ditambah
dengan lemahnya regulasi serta penegakan hukum di Indonesia untuk memberikan
efek jera. Dengan proses yang sangat sebentar, diawal Februari lalu, DPR DI
telah mengesahkan Perppu No. 1 Tahun 2014 menjadi UU No. 1 Tahun 2015 yang nantinya menjadi acuan penyelenggraan
pemilihan kepala daerah Gubernur, Bupati, dan Walikota mendatang. Namun
disayangkan, UU tersebut masih membuka celah akan kerusakan proses pemilukada
yang tidak sehat dan rawan korupsi.
Hal ini menjadi keprihatinan ICW
bahwa undang-undang tersebut seharusnya memperkecil ruang gerak para koruptor
di daerah dan perusak darah demokrasi dalam memilih kepala daerah. Berikut
wawancara Abdulah Dahlan selaku Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW
Apa saja permasalahan di
Indonesia dalam penyelenggaraan kepala daerah selama ini?
Tepat menjawab beberapa persoalan
pilkada yang terjadi selama ini beberapa permasalahanya seperti proses
kontesasi yang tidak fear, sangat terkotori oleh praktek-praktek politik uang
banyak terjadi. Selain itu, penyalahgunaan fasilitas pemerintah khususnya
(program2 daerah dalam APBD) sering dipakai sebagai alat kemengan termasuk juga
mesin birokrasi yang sering kali dipakai untuk alat kepentingan pilkada.
Proses Pilkada juga sering
dibajak dengan elite lokal, di beberapa tempat misalnya daerah yang kuat dengan
praktek politik dinasti (elite lokal yangmengusai daerah) hal tersebut sering
terjadi. Biaya kampanye yang terlalu tinggi juga menjadi masalah besar dalam
penyelenggaraan pilkada.
Dalam UU No. 1 tahun 2015 jika
dilihat, poin apa saja yang menjawab permasalahan pelaksanaan Pilkada nantinya?
Bicara soal tingginya biaya
pilkada maka revisi UU pilkada atas perppu yang sudah ada relatif menjawab,
misalnya berapa instrumen kampanye, iklan kampanye, atribut kampanye tidak lagi
dikeluarkan kandidat tetapi difasilitasi oleh negara (KPU Provinsi dan
kabupaten/kota yang memfasilitasi) jadi seluruh kampanye iklan di media tidak
lagi dikeluarkan oleh kandidat. Hal ini merupakan bentuk aklemasi, karena
dengan dikeluarkanya biaya kampanye setidaknya dapat menekan biaya kontesasi
yang dikeluarkan kontestan oleh kandidat. Maka diharapkan kandidat tidak
terlalu banyak keluar biaya, karena jika terlalu banyak keluar biaya dalam
pilkada dikhawatirkan ketika berkuasa ada ‘modal politik’ yang harus
dikembalikan.
Selain itu, disisi lain hal baru
dalam UU Pilkada ada pengaturan politik dinasti. Misalnya larangan kepada pihak
yang mencalonkan jika masih berhubungan ataupun terafiliasi terhadap incumbent
(pihak masih menjabat), Ini penting dalam mencegah pengaruh yang terlalu
dominan dibeberapa tempat yang menggunakan pengaruh kekuasaan sebelumnya untuk
menjadi kandidat.
Catatan penting apa saja yang
menjadi kritis ICW dalam melihat UU No. 1 Tahun 2015 tersebut?
Dalam hal ini ICW melihat revisi
tersebut belum menjawab secara substansi persoalan pilkada yang masih
tersandera akibat politik transaksional negatif seperti politik uang yang marak
dibeberapa pilkada. Seharusnya regulasi ini menjawab, dengan menutup
ruang-ruang dalam melakukan politik transakisonal seperti politik uang dalam
kontesasinya ataupun politik uang dalam proses pencalonanya atau kandidasi.
“Ini tidak terlalu tegas dalam regulasinya, karena dalam norma politik uang
revisi ini menduga pemilukada kedepan potensial terjadi money politic. Revisi pengaturan malah ada langkah mundur
kalau dibadingkan pengaturan politik uang dalam UU Pemda sebelumnya dipecah
jadi UU pemilukada,” tegasnya. Mengacu pada UU No. 32/2004 subyek hukum para
pelaku politik uang adalah semua pihak siapapun (barang siapa) dalam pengaturan
UU Pilkada ini hanya melingkupi subyek hukum, melingkupi kandidat dan tim
kampanye (lokalisir pelakuknya). Padahal dalam prakteknya politik uang justru
terjadi pada kelompok tim resmi (tim sukses resmi yang terdaftar di KPU)
melainkan oleh ‘tim bayangan’. Sebelumnya, ICW telah meminta dengan
mengkomunikasikan ke DPR dan stakholder dalam revisi tersebut agar dalam
pengaturan politik uang diberikan efek jera siapapun baik pelaku dan penerima.
Hal ini bisa dinamakan norma suap bagi siapapun yang memberi dan menerima bisa
dikenakan pidana politik uang. Ini penting dalam memberikan dampak pada publik
pemilih ataupun yang dipilih bahwa politik adalah kejahatan dalam kontesasi
pemilu pilkada bukan berkah.
Selain itu, politisasi program
pemerintah (APBD) dana bansos dalam trend belanja program populis ada kenaikan
dipergunakan dalam pilkada. Kenapa berbahaya karena kewenangan distribusi besar terdapat di kepala daerah, terlebih
kepala daerahnya yang bersangkutan sangat potensial melalui ruang kebijakan
menjadi modal politik. Teorinya dalam beberapa pengaturan menyebutkan
penggunaan. Namun prakteknya tidak cukup tegas di dalam sanksi administratif.
Seyogyanya, sumber dana pemerintah yang bersumber dari APBD ditegaskan siapa
yang melanggar dapat dikenakan sanksi pembatalan sebagai kandidat kjika
terbukti. “Saat ini belum, lebih banyak sanksi pidana. Seharunya hal lain
sebagai rumusan masuk, tetapi saat ini yang ada tidak menjawab permasalahan
yang ada.
Apa Tanggapan ICW terkait dana
kampanye pilkada yang dibiayai oleh pemerintah?
Dana kampanye di dalam UU No. 1
Tahun 2015 terdapat perbuahan yang mendasar. Pertama, biaya kampanye yang
difasilitasi KPUD menggunakan sumber dana pemerintah, namun dana kampanye tidak
diiringi oleh sanksi tegas. Dalam hal ini, metode kampanye yang dibolehkan
misalnya jika terdapat kadidat yang membuat iklan sendiri apa sanksinya, hal
itu tidak dirumuskan.
Kedua, KPUD baik provinsi maupun
kabupaten kota sebagai pengawas di level penyelenggara apakah ada jaminan bahwa
tidak ada keberpihakan kepada kandidat manapun. Misalanya waktu iklan kampanye
yang tidak sama waktunya dan jumlahnya.
Secara keseluruhan, apakah UU No.
1 Tahun 2015 sudah menjawab permasalah Pilkada di Indonesia?
Problem substansional pilkada
belum dominan di jawab dalam UU ini. karena dari hasil revisi ini tidak
menggambarkan upaya serius baik pemerintah maupun DPR dalam menutup
praktek-praktek yang membahayakan negara dan demokrasi dalam proses pemilu
kepala daerah. Seperti halnya, mewaspadai dana-dana yang dilarang masuk dalam
modal kampanye dan kemenangan. Karena selain APBD dana potensial lainya juga
bersumber dari dana tidak jelas dan diragukan keabsahanya (money laundry).
Mislanya dari pemodal sebagai penyongkong dan memiliki kepentingan di tingkat
daerah seperti sumber dayaalam dan
tambang serta kebijakan bisnis yang dipastikanakan berpengaruh pada kebijakan
daerah tersebut. Diperkiarakan pelaksanaan pilkada tidak akan banyak berubah.
Karena regulasi tidak mencoba menjawab dan menutup masalah yang terjadi
seperti politik uang, ranah kebijakan
pemerintah dana bansos melalui APBD, dan dana pemodal yang masuk dalam.
Lemahnya penegakan hukum juga akan menjadi jalan lebar karena tidak diatur.
Jangan sampai nantinya karena tidak diatur dalam regulasi menjadi alibi untuk
dilakukan penegakan.
Apa pesan ICW, agar KPU melakukan
perbaikan dalam pelaksanaan pilkada mendatang?
KPU harus mempersiapkan biaya
kampanye yang harus disiapkan bagi masing-masing daerah. Karenanya formulanya
masih kita tunggu. Hal ini, menjadi momentum KPU untuk menekan biaya kampanye
yang terlalu besar dikeluarkan oleh kandidat selama ini. karennya, titik
pencegahan korupsi bisa dimulai dari kontesasi pilkada gak perlu biaya tinggi.
Namun, permasalahan yang dihadapi
kedepan, karena belanja iklan telah di biayai negara maka kandidat akan fokus
membelanjakan uangnya untuk memperoleh suara. Meraka akan push uangnya untuk
membeli suara. Karenanya pengawasan pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan
Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) di tingkat kabupaten kota harus lebih tegas
dan ditingkatkan dalam mencegah praktek politik uang.
Sedangkan dari pemantauan yang ada,
Bawaslu dan Panwas tidak dapat menyelesaikan banyak kasus politik uang yang
terjadi di pilkada. Dalam hal ini, kandidat yang menemukan kasus lebih memilih
menyelesaikan di tingkat Mahkamah Konsitusi (MK). Karena tidak ada jaminan
bahwa Bawaslu dan Panwas dapat menyelesaikan. Hal ini menandakan adanya tras
terhadap penyelenggara pemilu, hal ini harus menjadi perhatin kedepanya.
Sumber : http://www.antikorupsi.org/id/content/uu-no12015-masih-rawan-politik-uang-dan-praktek-korupsi-dalam-pilkada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar